Text
Segalanya telah berubah sejak kau empat belas tahun.
Teman-temanmu; mereka tak lagi sama. Sebab ketika kalian berkumpul di pojokan meja kantin, mereka hanya sibuk dengan ponselnya, tersenyum di detik sekian, murung di menit sekian, menghilang pada hari-hari tertentu, kembali kepadamu dengan penuh air mata keesokan harinya. Dan, kau tak polos-polos amat kala itu. Kau bisa melihat, saat empat belas tahun, cinta seolah menjadi dunia baru bagi teman-temanmu. Seperti pembukaan kafe baru dengan promosi menggiurkan, orang-orang mendatanginya, hiruk-pikuk, terjepit di dalamnya, dan ruang itu seolah sudah penuh saat kau tiba. It’s like you didn’t belong here and there.
Ketika usiamu empat belas tahun, kau tak tahu banyak tentang cinta. Yang kau tahu, cinta hanya bisa menghancurkan: Hati temanmu, dirimu yang ditinggalkan, dan persahabatanmu secara keseluruhan.
Saat kau enam belas tahun, segalanya menjadi lebih jelas. Teman-temanmu telah mencintai dan dicintai. Tak ada lagi cerita hingga larut bersama teman. Tak ada lagi jalan-jalan bersama teman di malam minggu. Tak ada lagi kedatangan teman di rumahmu. Mereka sudah menemukan the one. Menghabiskan waktu bercerita semalaman penuh bersama the one. Jalan-jalan bersama the one. Seakan seluruh hidupnya hanya tentang the one. Sejujurnya, ini sedikit memojokanmu. Di usia enam belas tahunmu, kau mulai khawatir: Akankah ada seseorang yang mau menerimaku yang biasa-biasa saja? Mengapa aku tidak bisa dicintai seperti teman-temanku dicintai? Mengapa tidak ada seorang pun yang mau melihat diriku?
Sejak usiamu enam belas, cinta telah mengambil porsi terbesar dalam pikiranmu. Sayangnya, yang kau tahu tentang cinta hanyalah: Dua orang, saling mencintai dan dicintai, saling menyemangati untuk menggapai mimpi bersama, lalu menikah, memiliki anak dan cucu yang lucu, bahagia selamanya.
Puncaknya, saat kau delapan belas tahun. Kau bertemu cinta pertamamu dan patah hati pertamamu. Bertahun-tahun menanti cinta, kau mencoba yang terbaik, mencintai begitu dalam, dicintai begitu tulus, lalu, seiring waktu, topengnya terbuka, mendung hadir, badai turun, dan, dalam sekejap mata, ia menghancurkan segalanya. Masalah-masalah sepele, keegoisan yang tak masuk akal, perubahan hati yang signifikan; semua itu berujung pada satu kecelakaan besar: Patahnya hatimu. Sakit yang tak berdarah. Sakit tanpa luka konkrit. Terlalu susah bagaimana dan di mana harus diobati.
Dan, saat kau delapan belas tahun, kau sadar cinta butuh konsekuensi, dan konsekuensinya adalah keselamatan hatimu; keselamatan dirimu sendiri. Sampai-sampai kau takut jatuh cinta karena tak mau seluruh dirimu patah seperti ini lagi.
Lalu, tahu-tahu, usiamu sudah dua puluh tahun. Kau bertemu seseorang baru. Cinta yang baru, kebahagiaan yang baru, sayangnya, patah hati yang sama. Kau pikir kau akan sedikit lebih terbiasa merasakan patah hati. Tetapi, patah hati selalu terasa baru, seperti cinta pertama. Dan, ketika patah hati hadir, ia seakan rintikan hujan setajam pisau, kilat dan petir yang terdengar seperti amarahnya, badai tanpa henti; semua bersatu menyerang hatimu. Sudah, cukup, tidak lagi bila mencintai harus selalu seperti ini, batinmu, menyerah dalam diam.
Di akhir dua puluh tahunmu, kau berusaha menenangkan dirimu dengan berkata, “Mungkin, ini cuma masalah waktu dan orang yang tepat. Mudah-mudahan, aku segera menemekan keduanya: waktu yang pas dan orang yang tepat.”
Lima tahun kemudian, kau sedang sendiri, di kubikel favoritmu, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin, laptop yang tak tersentuh, dan sebuah undangan pernikahan dari temanmu. Ini adalah undangan pernikahan kesekian dari teman-temanmu. Yah, teman-temanmu telah menikah. Beberapa bahkan telah memiliki anak-anak lucu. Waktu terus beranjak, foto-foto pernikahan bermunculan di Instagram, keromantisan dipamerkan di sana-sini, dan kau semakin ketakutan: Kapan tiba waktuku?
Tidakkah ini mengingatkanmu pada dirimu yang masih enam belas tahun? Kupikir ada pelajaran membekas yang kau ambil selama sembilan tahun terperangkap dalam cinta, patah hati, jatuh cinta lagi, patah hati lagi. Ternyata, tak ada perbedaan signifikan pada hati-enam-belas-tahunmu dan hati-dua-puluh-lima-tahunmu. Tetapi, sudah, tak apa-apa. Mudah-mudahan kau segera menemukan pelajaran membekas sehingga kau tak perlu lagi khawatir pada hal-hal semacam ini.
Tetapi, kukatakan sejak sekarang, supaya kau tak kaget. Nanti, saat kau tiga puluh atau empat puluh tahun, kau akan mendapati beberapa temanmu memutuskan bercerai dari pasangannya. Beberapa melanjutkan petualangan cinta baru. Beberapa fokus menjadi orangtua tunggal. Cinta tak pernah terlihat semengerikan ini, saat kau masih delapan belas.
Belum lagi, nanti, saat kau enam puluh tahun. Kabar duka akan datang dari teman-temanmu. Pasangan mereka meninggal. Teman-temanmu memutuskan tak akan lagi menikah. Menua tanpa pasangan baru.
Pada diri-enam-puluh-tahunmu, aku belajar: Pasti ada sesuatu yang lebih penting selain cinta dalam hidup ini. Maksudku, jika cinta adalah hal yang paling penting dalam hidup, pastilah diri-enam-puluh-tahunmu mencari cinta yang baru, seperti yang sudah-sudah. Tetapi, semacam ada pelajaran yang membekas karena kau berhenti mencari, dan ini bukan sebatas karena kau sudah terlalu tua untuk menikah, ini bukan sebatas karena kau tak ingin mengecewakan kekasih sejatimu. Enam puluh tahun menjalani hidup, pastilah kau menemukan sesuatu berharga dalam hidup
Dan, kau, di usiamu hari ini, duduk di tempat terbaikmu, dengan pakaianmu yang paling nyaman, menggenggam buku ini, dan mulai mengangguk dan bergumam, “Iya, pasti ada yang lebih penting dari cinta dalam hidup ini. Tapi apa?”
Maka, tetaplah menggenggam buku ini, dan buku ini akan menarikmu pada berbagai realita cinta yang, mudah-mudahan, membuatmu, ketika jatuh cinta nanti, tak lagi patah sehancur itu.
Oh, dan, menjawab pertanyaanmu tadi:
“Iya, pasti ada yang lebih penting dari cinta dalam hidup ini. Tapi apa?”
***